Oleh : SAIFUDIN ZAINURI
Islam adalah agama yang menghargai proses. Pemahaman ini bisa dilihat dari dalil-dalil, baik Qur’an, hadis, maupun rumusan para ulama. Bahkan hampir bisa dikatakan bahwa tidak ada keterangan satu pun yang mengarahkan ke pemahaman bahwa Islam meng-amin-i sesuatu tidak pakai proses. Dengan demikian, semakin banyak proses yang dilalui, maka semakin banyak nilai plusnya.
Salah seorang kawan menyampaikan bahwa jika al-Qur’an menggunakan wawu sebagai atof, penyambung, maka bisa disimpulkan ujung dari kalimat itu adalah kejelekan. Pada awalnya penyampain itu tidak terlalu mengusik, tetapi ternyata setelah meneliti beberapa ayat, ternyata memang betul. Satu diantara ayatnya adalah QS. Al-Qari’ah:6-9.
“Dan ( pakai Fa) adapun orang-orang yang berat timbangan kebaikanya, maka ia berada dalam kehidupan diridohi. Dan ( pakai wawu) adapun orang yang ringan timbangan kebaikanya, maka neraka hawiyah tempatnya”.
Secara nahu, wawu berfaedah mutlaquljam’i, mutlak kumpul. Artinya jika diungkapkan, “datang si A dan si B”, maka pengertian datangnya A dan B bersama- sama. Itulah makna wawu, cepat-cepat, alias instan. sedangkan fa berfaidah tertib, step by step. Karena tidak hanya satu ayat yang menggunakan ungkapan senada, seyogyanya harus ada kewaspadaan terhadap yang namanya instan, yang potong jalan, yang jalan pintas. Kekacaun duit negara, yah karena dipotong oleh “jalan pintas”, oleh kepingin kaya dengan instan, oleh “cepat-cepat”. Lalu bagaimana dengan makanan instan? Jawabanya “tidak tahu”.
Maa layatimul wajib illa bihi fahuwa minhu, sesuat kewajiban tidak bisa sempurna kecuali denganya, maka sesuatu itupun menjadi wajib. Begitu kaidah fiqih merumuskan. Ini juga fakta bahwa syariat menghormati sebuah proses. Lutut sebagai aurat laki-laki pada awalnya bukan sebagai aurat. Oleh karena penutupan aurat aslinya “yang itu” tidak bisa sempurna kecuali dengan menutup lutut, jadilah lutut termasuk aurat. Orang yang berjamah di Masjid pahalanya tidak sama antara yang rumahnya dekat dengan yang jauh, karena jelas proses langkahnya berbeda. Bahkan sebuah hukum juga tergantung pada ilatnya. Karena proses sebuah waktu dan kejadian, Imam syafi-i menggunakan qaul qodim dan qaul jadid. Istinbat beliau juga berdasarkan nash-mansuh yang diinformasikan oleh al-Qur’an.
Dan jika belakangan ada sebagian orang yang mengaku Islam terus mengambil jalan pintas seperti “nggrogoti” layaknya tikus dalam hal mencari rizki-Nya, cepat cepatlah mempebanyak baca Qur’an dengan diangan-angan artinya.
Masalah jalan pintas dengan segala konsekwensinya sudah diatur oleh syariat. Mentadaburi alam sekitar juga termasuk memahami syariat-syariatnya. Sebab apa yang ada disekeliling kita berfungsi sebagai penyampai pesan dari-Nya, agar kelak manusia tidak punya alasan untuk menentang keputusan-Nya.
Kelapa bisa menjadi penguat bahwa proses itu menjadikan bermanfaatnya sesuatu. Siapapun tahu bahwa kelapa berproses lebih lama dibanding kangkung. dan ternyata kelapa lebih banyak manfaatnya dibanding kangkung. lidinya bisa membersihkan, kulit buahnya pun demikian, batoknya menjadi gayung mandi, batangnya bisa jadi tiang rumah, akarnya untuk menggemburkan tanah, buahnya bisa menjadi santan, minyak, airnya bisa jadi obat, daun yang kering bisa jadi kayu bakar. Bisa jadi dengan manfaat demikian, Pramuka menggunakn ikon kelapa.
Jalan pintas hanya menjadi pilihan para amatiran, para pecundang. Dan siap-siap menemui ujung jelek. Kok marah, apa urusanmu, bod? Jelas ada. Karena kita berada dalam satu atap Negara. Gara-gara “sipemotong jalan” kami merasakan kesusahan. Astagfirulah, maaf kelepasan emosinya.
Dan sebaliknya, yang menggunakan proses adalah propesional. Para petani cabai propesional di salah satu kabupaten tidak pernah memikirkan buahnya seperti apa nantinya saat mereka menanam. Yang mereka perhatikan adalah permulaan pengolahan tanah, Keselamatan daun dan tentunya waspada terhadap hama, bukan buah cabainya. Yang terjadi pada mereka petani yang menghargai proses selalu mendapati buah cabainya bagus dan panen sukses. Sementara petani amatiran yang ikut –ikutan menanam tidak demikian. Mereka selalu membayangkan cabainya cepat berbuah dengan bagus dan melimpah, tapi apa yang didapatkan? Tidak pernah cabainya sampai merah, konon lagi bagus. Bagaimana bisa panen bagus, proses tidak diperhatikan.
Kenyataan semua butuh proses, juga bisa membantah terhadap seseorang yang langsung lompat ke tharekat dengan menafikan syariat. Sama seperti petani amatir yang langsung menginginkan buah, juga sama seperti orang yang langsung mendapatkan santan dengan tanpa proses mengupas dan lain-lain, begitulah orang yang langsung ke tarikat. Bukan tarekatnya yang salah, tapi tidak pakai prosesnya yang tidak dibenarkan.
Apapun yang serba instan, cepat-cepat adalah dari syetan, karenanya berhati-hati terhadap yang instan-instan adalah kebijaksanaan yang-insyallah-bisa menyelamatkan kita. Proses, belakangan nasibnya sedih sekali . Kecenderungan sebagian manusia untuk meninggalkan sebuah proses tidak dirasakan sebagai sesuatu yang berbahaya, bahkan ada yang membangga-banggakanya sebagai prestise.
Sebagian ulama hikmah mengatakan bahwa dalam menjalankan kehidupan ada yang namanya bidayah, permulan, dan ada nihayah, akhiran. Jika bidayahnya berbentuk kebagusan, maka nihayahnya juga demikian. Artinya proses permulaan sangat mempengaruhi terhadap bentuk akhiran. Karena itu tidak ada istilah potong jalan dalam menggapai kebagusan sebuah akhiran. Langkah awal dan berikutnya semuanya saling butuh-membutuhkan seperti barisan anak tangga, dalam menggapai ahir; seperti ayunan kapak memotong pohon. Sabetan dari awal sampai sabetan yang menumbangkanya semuanya berfungsi. Bukan sabetan terahir yang membuat tumbang pohon tersebut. Itulah namanya proses.
Allah swt, bukan tidak mampu membuat alam semuanya dengan langsung jadi, tetapi menjadikanya dengan menggunakan proses enam hari, tidak kah yang demikian dengan kata lain Dia yang Maha Kuasa menghargai proses? Pun demikian dalam menurunkan wahyu kepada Nabi Muhammad, Dia bukan tidak bisa menurunkan al-Qur’an dengan sekali turun ; juga bukan tidak bisa Dia mengangkat langsung Nabi Muhammad saw saat isra mi’raj. Bisa. Mudah bagi-Nya, tetapi tidak begitu, kan?.
Berseraknya dalil mengenai sebuah proses tidak bisa ditinggalkan adalah anugrah dari-Nya agar manusia menangkapnya. Sungguh pun demikian tidak sedikit dari kita yang tetap syahwat menggunakan jalan pintas.
“Allah telah mengunci hatinya, pendengaranya, dan di pengelihatanya ada penghalang. Dan baginya adzab yang menyakitkan.”. Wallahu’alam bishawab,-
(Penulis : Pengasuh Pondok Pesantren Bah Sarimah – Kab Simalungun