MEDAN, WWRTATODAY.COM – Per Januari – Oktober 2018 ini, ekspor karet remah atau crumb rubber Sumatera Utara (Sumut) turun hingga 11 persen dibandingkan periode yang sama 2017 menjadi 382.964 Ton.
Sekretaris Eksekutif Gabungan Perusahaan Karet Indonesia atau Gapkindo Sumut, Edy Irwansyah, menyebutkan, enurunan volume ekspor itu dipengaruhi banyak faktor. Antara lain mulai dari dampak berkurangnya permintaan negara-negara konsumen utama seperti Republik Rakyat Tiongkok atau RRT.
Menurutnya, RRT mengurangi permintaan dari Sumut, Indonesia karena beralih membeli karet ke negara Thailand dan Vietnam dengan berbagai alasan. Padahal RRT dikenal sebagai negara konsumen nomor satu dunia dengan penggunaan karet alam lebih dari 5 juta ton per tahun
“Selain permintaan menurun dari beberapa negara, penurunan ekspor juga karena dampak turunnya produksi karet di Sumut,” ucap Edy, Kamis (15/11/2018)
Penurunan produksi karet di Sumut ini, kata Edy, dipicu oleh banyaknya petani yang menebang pohon karet dan tidak menderes getah pohon karetnya dan penebangan pohon karet serta aksi tidak melakukan penderesan itu dilakukan petani karena harga jual komoditas itu yang dinilai tidak menguntungkan.
Harga jual bahan olah karet atau bokar di Sumut misalnya hanya sekitar Rp6.000 per kg dari idealnya minimal Rp10.000 per kg.
Edy mengakui, meski pasokan berkurang dari Sumut dan Indonesia, tetapi belum atau tidak berdampak pada peningkatan harga di pasar global. “Tidak berpengaruhnya pasokan yang kurang dari Indonesia itu diduga dampak aksi spekulan yang ‘melempar’ simpanan karet ke pasar untuk menahan harga jual,” sebutnya
Menurutnya, Gapkindo berharap kondisi perkaretan di Sumut itu mendapat perhatian serius dari pemerintah. Apalagi, sebagian besar perkebunan karet di Sumut milik petani.
“Pengurangan ekspor berdampak menurunnya devisa dan berlanjutnya peralihan tanaman karet ke komoditas lain sehingga dikhawatirkan Indonesia menjadi importir dari selama ini sebagai eksportir karet alam,” demikian Edy.-