Tantangan Pembuktian Terbalik Dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia

KOLOM227 Dibaca

Oleh : TIONENI SIGIRO
(Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara)

Tindak Pidana Pencucian Uang secara umum dapat diartikan sebagai suatu tindakan atau perbuatan yang memindahkan, menggunakan atau melakukan perbuatan lainnya atau hasil dari suatu tindak pidana yang kerap dilakukan oleh organisasi kejahatan (crime organization) maupun individu yang melakukan tindakan korupsi, perdagangan narkotika, dan tindak pidana lainnya dengan tujuan untuk menyembunyikan atau mengaburkan asal usul uang haram tersebut sehingga dapat digunakan seolah olah sebagai uang yang sah.

Semakin berkembangnya teknologi turut mempengaruhi kejahatan khususnya tindak pidana pencucian yang semakin kompleks, melintasi batas batas yurisdiksi, dan menggunakan modus yang semakin variatif, memanfaatkan lembaga diluar sistem keuangan, bahkan telah merambah ke berbagai sektor, sehingga sangat dibutuhkan upaya yang luar biasa khususnya dalam sistem pembuktian yang mampu menjerat para pelaku.

Salah satu upaya tersebut adalah sistem pembuktian terbalik. Di Indonesia sendiri pembuktian terbalik pertama kali diterapkan dalam kasus Bahasyim A, mantan pejabat pajak dan Bappenas yang terjadi pada tahun 2011 dimana Terdakwa Bahasyim memiliki rekening dengan dana sekitar Rp 60 miliar yang dialirkan ke rekening istri dan anak-anaknya.

Bahasyim tidak mampu menunjukkan dokumen-dokumen terkait usahanya yang diklaim sebagai sumber kekayaan, seperti cuci cetak foto, jual beli tanah dan mobil, serta penyertaan modal pada sejumlah perusahaan, Terdakwa Bahasyim divonis 12 tahun penjara berdasarkan putusan Mahkamah Agung pada 31 Oktober 2011.

Secara teoritis dikenal 3 (tiga) teori tentang sistem pembuktian, yaitu berupa: yang pertama Sistem pembuktian menurut Undang-Undang Secara Positif (Positief Wettelijke Bewijs Theorie) Kedua, Sistem pembuktian menurut Keyakinan Hakim, dan yang ketiga Sistem pembuktian menurut Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijke Bewijs Theorie).

Pada dasarnya sistem Pembuktian terbalik merupakan suatu sistem yang posisinya berada di luar kelaziman teoritis tentang pembuktian dalam hukum pidana formil yang universal, baik di dalam sistem Eropa Kontinental maupun sistem Anglo-Saxon, yang hanya mengenal pembuktian yang membebankan kewajiban pembuktian kepada Jaksa Penuntut Umum.

Hanya saja dalam beberapa kasus tertentu (certain case), diperkenankan penerapan dengan mekanisme yang diferensial yaitu sistem pembalikan beban pembuktian yang disebut sebagai “reversal burden of proof” atau “omkering van het bewijlast”. Di dalam Undang-undang Nomor 15 tahun 2002 jo. Undang-undang Nomor 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Pasal 35 dimana disebutkan bahwa untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana.

Penerapan metode pembuktian terbalik ini merujuk pada pembuktian tindak pidana asal (predicate crime) dari pencucian uang (money laundering) tersebut. Sehingga terlihat dengan jelas bahwa sistem pembuktian memegang peranan yang sangat penting. Tidak dibuktikannya tindak pidana asal (predicate crime) terlebih dahulu dalam tindak pidana pencucian uang, pada suatu sisi telah menyimpang dari asas presumption of innosence (asas praduga tidak bersalah) dan asas non self incriminatiation.

Tersangka/terdakwa Tindak Pidana Pencucian Uang seolah-olah telah dianggap bersalah melakuakan pencucian uang dengan telah terbuktinya tindak pidana asal tanpa terlebih dahulu kesalahannya yang ditandai dengan adanya putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap, adapun beberapa tantangan yang dihadapi dalam pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menyangkut keseluruhan unsur dalam perkara yakni :

1. Terdakwa
Sistem pembuktian terbalik yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang ini ada dua hal penting yang perlu dan harus dilakukan oleh terdakwa yang telah didakwa dengan tuduhan tindak pidana pencucian uang, Pertama, merupakan suatu penyimpangan dari ketentuan KUHAP, yang menentukan bahwa penuntut umum wajib membuktikan dilakukannya tindak pidana bukan terdakwa, menurut ketentuan ini terdakwa dapat membuktikan dalilnya, bahwa ia tidak melakukan tindak pidana pencucian uang. Kedua, terdakwa berkewajiban memberikan keterangan perolehan tentang seluruh harta kekayaannya yang ditempatkan, ditransfer, dan sebagainya kepada penyedia jasa keuangan yang diduga merupakan harta kotor atau illegal. Perolehan atau asal usul harta kekayaan tersebut akan dipertanyakan, kapan; bagaimana; dan siapa saja yang terlibat dalam perolehan harta kekayaan serta mengapa dan sebab- sebab apa harta kekayaan tersebut diperoleh. Penggunaan sistem pembuktian terbalik ini dapat menguntungkan terdakwa/tersangka dari satu sisi, di mana tersangka memiliki kemampuan meng-counter sangkaan penyidik terhadap dugaan tindak pidana pencucian uang dengan menggunakan menggunakan audit forensik, yaitu dengan pendekatan historical audit forensic melalui audit yang dilakukan auditor profesional. Hasil audit ini memiliki tingkat ketelitian yang tinggi sehingga mampu melemahkan hasil audit yang dilakukan oleh penyidik. Akibatnya tersangka/terdakwa akan selalu memenangkan pada tahap pembuktian terbalik.

2. Penuntut Umum
Penuntut umum wajib mempersiapkan alat- alat bukti dan barang bukti secara akurat, sebab apabila tidak seperti itu akan sulit untuk meyakinkan hakim terkait kesalahan terdakwa. Dengan demikian penuntut umum tidak dapat menolak atas kewajiban yang diberikan kepada terdakwa, namun tidak berarti penuntut umum tidak memiliki hak untuk menilai dari sudut pandang penuntut umum dalam requisitor-nya. Apabila terdakwa dapat membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan pencucian uang, tidak berarti bahwa terdakwa tidak terbukti melakukan pencucian uang, sebab penuntut umum masih tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya. Bagi penuntut umum ia tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya sesuai dengan teori pembuktian undang-undang secara negatif adalah pada terdakwa ada kesalahan atau tidak dan apa terdakwa inilah yang melakukan tindak pidana pencucian uang.

3. Hakim
Terhadap keterangan pembuktian terdakwa itu, hakim akan mempertimbangkan semuanya dan sikap hakim bebas dalam menentukan pendapatnya, yaitu keterangan terdakwa itu hanya berlaku bagi terdakwa sendiri saja atau jika keterangan terbukti tidak melakukan tindak pidana pencucian uang maka keterangan itu, dipakai sebagai hal yang menguntungkan pribadinya dan jika terdakwa tidak dapat membuktikan tentang perolehan harta kekayaanya, maka keterangan terdakwa itu dapat dipergunakan untuk memperkuat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana pencucian uang.

Pada dasarnya beban pembuktian dalam tindak pidana pencucian uang ada pada terdakwa namun juga tidak melepaskan kewajiban penuntut umum untuk membuktikan bahwa harta kekayaan yang didakwakan terhadap terdakwa adalah berasal dari tindak pidana.

Oleh sebab itu dimungkinkan tersangka memiliki kemampuan meng-counter sangkaan penyidik terhadap dugaan tindak pidana pencucian uang dengan menggunakan menggunakan audit forensik, yaitu dengan pendekatan historical audit forensic melalui audit yang dilakukan auditor profesional yang tentu saja berpotensi menguntungkan Tersangka, sehingga Penyidik maupun Penuntut Umum dituntut teliti dan mampu menangani masalah ini secara profesional, guna meningkatkan kualitas dalam pembuktian tindak pidana pencucian uang diperlukan adanya regulasi khusus mengenai sinergitas antara penyidik tindak pidana asal bersama penyidik TPPU yang telah diberikan kewenangan penyidikan agar Penanganan Tindak Pidana Pencucian Uang dapat berjalan optimal.

print

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *